“Mungkin itu hanya sekadar melankoli. Tapi aku tak keberatan bersandar pada sesuatu yang sudah berlalu, jika itu bisa membuatku kuat.” – Surti Anandari
Aku baru saja menghabiskan 464 halaman tulisan milik Leila S Chudori, Pulang. Pulang adalah novel kesukaannya, di antara tumpukan novel lain yang juga ia sukai. Aku ingat bagaimana dulu ia pernah bercerita betapa ia membenci salah seorang penulis tanah air menulis buku dengan judul yang sama.
“Apa maksudnya ikut-ikutan buat judul Pulang? Pasti lebih bagus milik Leila,” gerutunya saat itu.
Aku hanya bisa tersenyum sambil tertawa kecil. Penulis yang di-gerutuin-nya tadi adalah salah satu penulis favoritku juga. Sedikit hatiku merasa tak terima mendengar dia berkomentar seperti itu. Tapi aku tahu seperti apa kepopuleran Pulang milik Leila, jelas-jelas keduanya berbeda.
Dengan tetap tersenyum yang jelas-jelas tak bisa dilihatnya, aku mencoba menjelaskan buku yang satu lagi. Betapa mereka membahas kedua konteks cerita yang berbeda, yah meskipun aku harus jujur padanya, Pulang yang sedang kami bahas saat itu jelas bukan salah satu buku favoritku. Ceritanya agak ngawur.
Waktu itu ia bilang betapa aku harus membaca Pulang milik Leila. “Tapi mungkin akan sedikit berat untukmu, karena kau tak menyukai sejarah. Apa kau bilang kemarin? Baca Tetralogi Buru saja membuatmu mual?” Ia menutup kalimatnya dengan tawa kecil di ujung.
Aku pun tertawa. Yah mau bagaimana lagi, aku menyukai Tetralogi Buru, hanya tak sampai memberikan poin 10 untuk kesukaanku, karna benar katanya, aku mual saat baca Rumah Kaca. Pusing dihantam gelombang kalimat-kalimat tiada henti.
Tapi ia tetap merekomendasikan Pulang masuk dalam list bacaanku. Hingga di suatu kesempatan ia tawarkan untuk meminjamiku miliknya. Kebetulan ia akan berkunjung meski tak akan lama. Ia janji untuk membawakannya, sekalian dengan dua buku lain yang juga ia harapkan aku untuk membacanya.
Aku tak mau bertangan kosong, diam-diam aku membelikannya sebuah buku. Murjangkung milik AS Laksana. Ia bilang sudah mencarinya kemana-mana tapi tak ketemu, karena sudah cetakan lama dan tak ada lagi di Gramedia. Aku secara tak sengaja menemukannya dan memutuskan untuk memberikan buku itu. Ditambah dua buku lain yang sudah kami nanti-nantikan masa terbitnya. Kami akan bertukar kesemua buku-buku itu.
Tapi di hari-hari terakhir keberangkatannya, ia putuskan untuk tak jadi membawa Pulang, terlalu repot, aku hanya bawa ransel kecil, katanya. Kumaklumi saja, toh aku memang tak terlalu ingin membacanya,
Lalu dua hari yang lalu, ku’rampok’ Pulang milik seorang teman. Kuakui, selain karena kepopulerannya, ia adalah alasanku untuk membacanya.
Dan, aku sudah selesai membacanya. Ternyata tak ‘seberat’ yang dipaparkannya. Nyatanya, aku menyukainya. Dan baru di halaman kesepuluh, aku langsung mengamanatkan pada diri sendiri, akan kubeli satu untuk diriku sendiri, agar kelak kan kupinta keturunanku membacanya. Cara ini jauh lebih mudah untuk menceritakan padanya sejarah Indonesia. Aku jatuh cinta pada cara Leila bercerita. Ia benar, buku pilihannya tak pernah ada yang mengecewakan.
Kalian harus tahu berparagraf-paragraf tulisan di atas hanyalah pembuka. Jembatan yang kugunakan untuk ke paragraf selanjutnya. Semacam mengelak saat ditunjuk guru untuk menjawab pertanyaan.
Karena hari di penghujung bulan akan datang sebentar lagi. Aku dihadapkan pada kenangan-kenangan yang datang silih berganti. Hingga puncaknya adalah catatan kecil yang ada di handphone pintar. Seharusnya ada kartu Natal yang kita beli dan tulis di minggu depan untuk seseorang yang kusayangi karena dia menyayanginya.
Dia harus tahu, kenangan adalah cara paling bangsat yang memaksaku meskipun aku setengah mati menolak untuk kembali mengingat. Dia juga harus tahu kenangan tak pernah datang dengan sopan santun, mengucapkan salam dan meminta izin untuk datang berkunjung. Atau tetap kembali mohon diri saat memutuskan pergi.
Dia harus tahu, aku masih belum tahu harus bagaimana memperlakukan kenangan. Kerap aku mengabaikannya, mencari pelarian. Meski sesekali aku terlena, membiarkan diri larut di dalamnya. Seperti sekarang.
Aku tak tahu, apakah kenangan masih dengan kurang ajar menyambanginya atau tidak. Karena yang kutahu, kami sama-sama berusaha. Aku dan dia sama-sama membangun kenangan masing-masing. Agar tetap ringan untuk dibawa dalam kenangan lain.
Karena pada kenyataannya, ku bertemu dia yang lain. Yang sama sama sekali berbeda dengannya namun ada. Ada dengan segala kesederhanaannya dan tingkah manisnya menghadapiku, yang kalau seperti katanya dulu, masih suka labil maunya apa.
Aku menutup kenangan tepat saat hari di penghujung bulan.
🖒
LikeLiked by 1 person
Ah monolog… Monolog yang sangat berhasil menerbangkan imajinasi lepas dari menjejak bumi.
LikeLiked by 1 person
haha benarkah? Terima kasih :))
LikeLike
oh ini “pulang” #ahyunimiwa ya?
LikeLiked by 1 person
Hai Maya, gimana itu maksudnya? Hehe
LikeLiked by 1 person
Kok jadi tertarik membaca “Pulang” yang edisi dan sudut pandang lain yg ini ya? Hehe. Makasih sudah direview. Jadi penasaran.
LikeLiked by 1 person
Haha, aku ndak nge-review loh 😂😂
Pulang yg kumaksud 1 lagi, Pulang-nya Tere Liye :))
LikeLike
Maksudnya ya ituuu. Udah tahu Pulang-nya Tere Liye. Dan jadi penasaran dengan Pulang yg edisi yg aku baru tahu. Hehe
LikeLiked by 1 person
hoo, Pulangnya Leila S Chudori? Harus baca kamu kalo begitu haha 😋
LikeLiked by 1 person
Yuun, km lg misi brapa buku gtu setahun?
LikeLiked by 1 person
hahaha, kemarin di Goodreads aku targetin 35 buku di tahun ini 🙈🙈
dari buku2 yg kusebutkan, ada yg sudah baca?
LikeLike
aku kok ngak pernah dengar ya..
mungkin aku jarang baca buku apalagi novel mungkin yak…
yang aku tau cuma Leila Heartfilia wkwkwk 😛
LikeLiked by 1 person
wahaha, sepertinya kesukaan kita berbeda Mas 🙈🙈 saya malah enggak kenal Leila Heartfilia hihi. Oke juga nih kalo tukeran kesukaan, biar beragam, hehe 😋😋
LikeLike