Dia yang Ketujuh

Being happy is not impossible. Aku ingin katakan itu padanya. Atau sekaligus meneriakkannya. Wajahnya berubah sendu sore itu, setelah satu sesi pembicaraan yang panjang. Dia baru saja menceritakan sesuatu yang sama sekali tak kuduga. Kelabu yang sama datang lagi saat dia kembali bercerita di lain hari. Itupun setelah lama aku mendesak-desaknya. Ceritakan, kataku. Bukannya membalas, … Continue reading Dia yang Ketujuh

Dia yang Keenam

Aku suka melihatnya tertawa. Apalagi tertawa karena diriku. Dia yang kukenal dulu tidak murah tertawa. Dia kaku, menjaga jarak. Membuat batas pagar yang jelas. Bahkan dalam hubungan pertemanan. Berbicara dengannya harus dimulai duluan kalau tidak ingin menghabiskan waktu berjam-jam dalam diam. Tentu saja karena dia gugup, dan kaku. Tapi begitupun aku suka. Dia terlihat lucu … Continue reading Dia yang Keenam

Dia yang Kelima

Pernah aku marah padanya. Marah sekali sampai menolak bicara dengannya. Tidak mau secara langsung ataupun tidak langsung melalui telepon dan aplikasi pesan. Saat itu, marah yang kurasakan terasa sangat mendalam. Kukira dia selama ini mengerti tentang diriku. Memahami setiap keputusan yang kuambil. Tahu setiap kondisi dan kejadian sebab akibat yang terjadi padaku. Jadi, saat dia … Continue reading Dia yang Kelima